Monday 11 June 2012

Bu Sulimah, Pengusaha dari Pedalaman Kaliwiro Wonosobo


Bu Sulimah, Pengusaha dari Pedalaman Kaliwiro Wonosobo

Hari masih cukup pagi ketika Tamaddun mengkonfirmasi keberadaan wanita ini. Maklum mendekati hari pasaran pahing
(Sebuah hari pasaran dalam penanggalan Jawa) Ibu Sulimah sibuk memburu barang dagangan. Saat ini, ibu yang
berusia hampir 50 tahun ini tak di rumah, ia sedang berkeliling dari satu desa ke desa lainnya. Di setiap desa sudah ada
“anak buah” yang menerima hasil bumi dari para petani.
Pesodongan Kaliwiro, tempat Bu Sulimah tinggal sekitar 15 Km dari kota kecamatan Kaliwiro 40 Km dari Kota
Wonosobo. Di pedalaman inilah ia menjalani usaha dagang hasil bumi sejak 20 tahun silam. Tentu tidak mudah bagi ibu
rumah tangga ini untuk memulai usahanya, mengingat juga wilayah Pesodongan Kaliwiro merupakan dataran tinggi,
antara satu desa dengan desa lainnya terdiri dari bukit dan lembah. Bisa dibayangkan juga, bahwa daerah penghasil
rempah-rempah dan hasil bumi lainnya, tentu juga masih banyak hutan disana-sini.
Modal Persaudaraan dan Optimis
Perjalanan usaha ibu dua anak ini berawal ketika dirinya kembali dari perantauan di Riau Sumatera Barat. Setelah masa
kontrak habis, dirinya dan sang suami (Prawiro 55 th) memutuskan kembali. Seperti sebelumnya, ia dan suaminya juga
kembali bertani seperti orang kebanyakan di desa tempatnya tinggal. Setahun berlalu, dan di masa-masa inilah ia
melihat peluang. “Kenapa saya tidak menjadi pembeli saja, kenapa justru saya hanya menjual hasil pertanian
kami” kenangnya saat itu.
Meski belum punya gambaran seperti apa menjadi pedagang, terlebih barang-barang hasil bumi, namun berbekal
semangat yang dimiliki semuanya seolah menjadi menarik bukan menakutkan dan menyurutkan niat. Hal itu pulalah
yang kemudian membuat nenek satu cucu ini berpikir darimana uang untuk modalnya. Tali persaudaraan yang erat
membuat keinginan semakin mudah, salah seorang saudara kandungnya meminjamkan perhiasan untuk modal,
syaratnya menjelang hari lebaran bisa dikembalikan. Hitung-hitungan manual segera terbayang dalam diri Bu Sulimah,
“Ya Insya Allah saya bisa” jawabya dengan penuh semangat.
Di akhir tahun 80-an dengan modal sekitar Rp250 ribu tanpa ragu lagi ia memulai usaha. Bingung bagaimana caranya
“kulakan” barang dagangan, mencari langganan, kepada siapa dijualnya, seolah menjadi bumbu bagi
pedagang pemula. Selain kebingungan tersebut, ditambah lagi jauhnya medan yang harus ditempuh ketika
“kulakan” maupun menjual di pasar merupakan tantangan bagi ibu sembilan bersaudara ini. “Dulu
jualan saya masih kecil-kecilan mas, belum ada anak buah yang menjadi pengepul di desa, petani belum yakin apakah
harga beli saya sama dengan standar pasar, bahkan jalannya pun masih rusak dan susah dilewati” kisahnya.
Sebuah pengalaman yang menurutnya tak terlupakan hingga kini, yakni ketika mobil yang kala itu membawa barang
dagangannya hampir saja jatuh ke sisi jalan yang curam, padahal muatannya penuh, kebetulan sore itu juga hujan
deras. “Alhamdulillah, selamat. Sampai sekarang saya masih diberi kesehatan” syukurnya. Membawa
dagangan dari desa sore hari (hari Manis) untuk dijual esok harinya (hari Pahing) memang merupakan kebiasan Bu
Sulimah. Mengingat jarak yang jauh tidak memungkinkan untuk berangkat pagi hari, padahal pasar Panggotan Kaliwiro
tempatnya jualan, telah rame sejak dini hari. Karenanya, ia biasa menginap di pasar sembari menata dagangan.
Meski dulu belum punya “anak buah” sebagai pengepul di desa, dan belum punya langganan pembeli
grosiran, namun kini setiap pasaran pahing, tak kurang dari lima orang pembeli grosiran memburu habis barang
dagangannya. Mereka kebanyakan, pembeli dari beberapa kecamatan di luar Kaliwiro yang akan menjual lagi di warungwarung
atau pasar di daerahnya masing-masing.
Berawal dari Rp250 ribu, kini meski tak mau menyebut jumlah asset usahanya, setiap minggunya ia memutar modal
usaha tak kurang dari Rp10 juta. Dari modal itulah ia akan membawa muatan dagangan satu pickup penuh. Sekali
”kulakan” berisi beras, kelapa, kopi, jagung, cengkeh, pisang, kapu laga, dan rempah-rempah lainnya.
Dengan muatan yang penuh, jarak tempuh yang jauh, medan terjal, dan tenaga bongkar barang ongkos semuanya
Rp150 ribu. ”Untuk ongkosnya, mungkin lebih murah dibanding yang lain, karena kita sudah langganan
lama” jelasnya.
Hampir sama dengan pedagang lain yang tak pernah menghitung pasti secara rinci berapa omzet harian, asset atau
laba yang diperoleh, namun anak ketiga dari sembilan bersaudara ini mengaku untuk harga-harga sekarang misalnya,
harga beli Rp46 ribu/kg ia jual Rp5 ribu/kg, kopi Rp12 ribu/kg dijual Rp13-14 ribu/kg, kelapa Rp400/biji dijual Rp600/biji,
cengkih kering Rp51 ribu dijual Rp52-53 ribu/kg. Bisa dibayangkan jika setiap kali jualan, ia membawa barang satu
pickup penuh dan habis dalam sehari kira-kira berapa keuntungannya. Rasanya, sebanding dengan upaya keras yang ia
kerjakan.
”Saya gak pernah maksa-maksa pada petani mas, saya yakin jatah rezeki sudah diatur, yang penting selama ini
saya berusaha semaksimal mungkin menjaga hubungan kekeluargaan, saya menganggap semuanya adalah kebutuhan
petani. Saya kasihan kalau sampai mereka menunggu saya datang sedang mereka sudah butuh uang, makanya saya
perbolehkan mereka ambil uang dulu pada anak buah saya di desa” ujar ibu yang murah senyum ini.

Tak Hanya Sekedar Membeli
Barangkali cara yang diterapkan oleh Bu Sulimah itulah yang kemudian hingga kini menjadikan banyak petani di wilayah
Pesodongan Kaliwiro ”jatuh hati” padanya. Banyak diantara mereka yang rela menunggu kedatangan Bu
Sulimah, mereka tidak menjual pada pedagang lain apalagi orang luar yang biasanya juga datang untuk membeli.
”Saya sudah kadung enak mas, kalau Bu Imah boleh minta uang dulu dan barangnya dikasih setelah saya
panen, kalau pembeli lain gak boleh mas” terang Sutarmi, salah seorang petani desa Beran Kaliwiro.
Meski niatan awal ingin menolong para petani, namun ditengah jalan tak jarang juga Bu Sulimah pernah mendapat
pengalaman berharga. Tepatnya ketika ada beberapa petani atau penjual yang ternyata tidak menjual barang hasil bumi
kepadanya, melainkan kepada orang lain. ”Justru kalau ada petani yang suka gak jujur, saya malah jadi
pengalaman mas. Saya jadi tahu orang yang mana saja yang sebenarnya menyambut baik niatan saya, yang perkataan
mereka sama dengan hati dan perbuatannya” jelas Bu Sulimah. ”Saya si gak mau marah-marah soal
seperti itu, barangkali memang belum rejeki saya tapi rejeki pedagang yang lain” tambahnya.
Siapa menyangka jika ibu satu cucu ini ternyata lulusan PGA (Pendidikan Guru Agama). Kebanyakan dari teman-teman
seangakatannya lebih memilih guru sebagai profesi yang memang menjadi bidangnya. Tetapi tidak demikian dengan
dirinya, alasannya sederhana, kurang tertarik. ”Gak tahu mas, meski sekolah di PGA tapi rasanya tak ada
bayangan ingin jadi guru, saya malah sekarang lebih menikmati jadi pedagang” ujar Bu Sulimah.
Ibu yang energik ini ternyata punya strategi khusus untuk terus melanggengkan hubungan dengan para petani,
”anak buah”, maupun pembelinya di pasar Panggotan Kaliwiro. Saling menjaga kepercayaan,
persaudaraan, telaten, jujur, sabar dan manis ulate (berucap dengan manis dan santun). Darimana kira-kira strategi ini
berasal? Bukan dari pelatihan atau seminar, bukan pula dari hasil membaca buku. Semuanya itu ia peroleh dari
perjalanan panjangnya meniti karir sebagai pedagang selama 20 tahun. Mulai dari pengecer sampai pemborong, atau
malah bisa jadi kini sebagai “juragan”.
Awal Perkenalan dengan TAMZIS
Bisa menjadi anggota Ijabah (Investasi Berjangka Mudharabah) di TAMZIS sama sekali tak terbayangkan sebelumnya.
Tahun 1999 ketika TAMZIS membuka layanan di Kaliwiro Bu Sulimah masih aktif menjadi anggota di sebuah Bank
Konvensional, “Saya ditawari menabung oleh seorang karyawan TAMZIS yang murah senyum dan
“nyedulur”. Saya pun tertarik karena sikap baiknya itu. Tak tahunya, sekarang malah saya
mempercayakan semuanya pada TAMZIS, saya memindahkan semua tabungan saya di bank umum, bahkan niatan
saya sejak lama untuk berhaji baru kesampaian sekarang itupun lewat TAMZIS” jelas ibu yang telah terdaftar
sebagai Jemaah haji tahun 2012 ini.
Perjuangan panjang untuk mencapai kesuksesan sampai sekarang bukan berarti melalaikan kewajiban yang lain.
Urusan rumah, kegiatan sosial dengan tetangga, dan terlebih kaitannya dengan ibadah selalu diutamakan. Dihari
dimana ia tak turun ke desa untuk “kulakan” ia biasa gunakan untuk ngaji bersama jamaah ibu-ibu.
Kedua anaknya kini telah mapan, putra sulungya telah berkeluarga dan tinggal di Riau, sedang si sulung yang lulusan
akademi kebidanan juga telah kerja. Walaupun belum ada gambaran siapa penerus usaha, namun ia berharap dimasa
mendatang ia bisa memberikan manfaat yang lebih kepada para petani di desa, dan diberikan kesehatan untuk bisa
melaksanakan ibadah haji.

kaliwirogrind.blogspot.com


1 comment:

  1. Tetap semangat bu Sulimah untuk membangun desa terpencil di atas pegunungan nan jauh dari keramaian kota, semoga Alloh memberikan jalan terbaik amiiin................

    ReplyDelete