Aku terbangun dari kotor dan
dinginnya bawah jembatan ini. Begitu juga dari suara-suara kendaraan
bermotor yang silih berganti. Tapi ini sudah biasa bagiku. Ketika kubuka
mata ini, pikiran dan perutku seakan mengerti. Saatnya kucari sesuap
nasi. Menelusuri rimba rayanya kota, tertatih pada rintih kaki dan
berpeluh pada guritan derita.
Kakiku terus melangkah, sementara
perutku pun terus mendendangkan lagu keroncongnya. Kutilik dibalik rumah
mewah itu. Bahagia sekali, mereka sarapan pagi bersama dengan makanan
telah tersaji diatas meja. Sementara aku?? Berapa kilometer lagi harus
kutempuh?? “Aku tak seberuntung mereka”.
Di teriknya matahari yang seakan
ingin membakar kulitku, aku harus mengais rejeki. Di jalanan, di
perempatan, di warung-warung, tak peduli betapa teriknya siang ini.
Dengan lagu kudendangkan juga dengan tangan menengadah. Pengemis,
pengamen, mungkin itu kata yang lebih tepat. Anak jalanan, anak
terlantar, apapun kata mereka aku tak peduli. Buat aku yang terpenting
adalah bagaimana menyambung nyawaku.
Kutengok di balik gedung itu.
Nyamannya mereka, tidak kepanasan, duduk disana, mendapatkan pendidikan,
mendapatkan teman pula. Inginnya aku bersekolah. Tapi uang dari mana?
Bagaimana bisa? Kalaupun telah ada sekolah gratis, belum tentu yang
lainnya gratis. Kalaupun aku sekolah, bagaimana aku bisa mencari sesuap
nasi? Sekali lagi aku harus berkata, “Aku tak seberuntung mereka”.
Lalu ketika senja tiba. Kutahu hari
kan gelap. Gelap pula harapanku, ku tahu malam ini aku harus tidur di
emperan toko, di kolong langit, bahkan di kolong jembatan. Tanpa peduli
apa yang akan terjadi nanti. Hujankah? Hemmm… hujan? Dinginnya malam
adalah selimutku. Kardus bekas adalah kasurku. Tak ada bantal dan
guling untukku.
Guling dan bantalku telah mati.
Diambil Tuhan, bahkan disaat aku ingin merasakan hangatnya pelukan ibu.
Yang tersisa hanyalah sebuah kenangan dan dingin yang menusuk kalbu.
Sementara aku disini, anak-anak lain tidur menggunakan kasur, selimut
tebal, bahkan hangatnya pelukan orang tua. Dan untuk kesekian kalinya,
aku harus berkata “Aku tak seberuntung mereka” .
Ibu, ingin ku mengadu. Mereka bilang
aku anak terlantar, mereka bilang aku anak jalan yang tak pantas jadi
teman mereka. Mendekat saja mereka tak mau. Ibu…temanku hanya kepahitan
hidup. Isak tangis kutahan, senyum palsu kuperlihatkan. Ingin kutunjukan
ketegaran pada diriku, meskipun sebenarnya aku rapuh.
Miris… melihat mereka menapaki kepahitan
hidup. Tak ada yang peduli, bahkan menganggapnya jijik. Fakir miskin
dan anak terlantar di pelihara oleh Negara, jelas tertera dalam UUD
1945. Namun, faktanya tidak seperti itu. Mereka dipinggirkan oleh
Negara, bahkan diliriknya saja tidak. Apa pemerintah lupa? Ataukah hanya
berpura-pura?
Anak terlantar (anak jalanan) justru
diperlihara oleh Babeh. Mereka mendapat perlakuan buruk, disodomi,
tempat pelampiasan nafsu seksnya. Kejahatan terhadap anak-anak jalanan
kerap terjadi. Dan pemerintah seakan-akan pura-pura, alih-alih
memelihara anak terlantar, pemerintah malah memelihara para koruptor.
Harapanku untuk Indonesiaku adalah agar
pemerintah benar-benar mencerna dan memahami redaksional dari pasal 34
ayat 1 UUD 45 yang berbunyi “ Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Agar mereka mendapatkan perlindungan yang lebih baik.